Alf bilang, tidak seperti perempuan, laki-laki masih memakai logika jika memilih tambatan hati, tidak seperti perempuan yang menyerahkan seluruh hatinya. Aku tidak sepenuhnya setuju. Seluruh hidupku, aku selalu memakai kepalaku, bukan hatiku. Jadi pernyataannya tidak berlaku untukku.
Dan aku mendadak merasa sakit hati dengan pernyataannya. Aku curiga. Mungkinkah dari segala bentuk kedekatan yang coba dia tebarkan, dia masih juga tidak menyatakan isi hatinya padaku karena menurutnya aku tidak sepadan untuknya?
Jadi, kuacuhkan dia dan aku sembunyi. Herannya, dia masih juga berada di sekitarku.
Dia menyapaku saat kami berpapasan. Aku pura-pura tidak mendengar dan sibuk dengan kopiku. Dia berdiri di samping tempat dudukku berlama-lama padahal dia seharusnya hanya lewat saja. Dia terdengar lebih bersemangat saat aku memasuki ruangan. Dia diam-diam mencuri pandang ke arahku saat aku melintas di dekatnya. Dia mengawasi gerakanku saat aku meninggalkan ruangan dengan tergesa-gesa. Dan semalam saat aku berjalan pulang sendirian, dia menyempatkan diri menoleh dan tersenyum padaku sebelum melajukan kendaraannya. Entah dia akan pergi ke mana.
Selamanya di antara aku dan Alf tiada romansa. Dia tahu aku pemalu. Dia tidak akan begitu gegabah memperlihatkan perasaannya padaku. Aku jengkel berulangkali, tidak saja padanya, tapi juga pada diriku sendiri.
Aku bersikeras bahwa dia tidak layak untukku. Dia begitu pengecut dan tidak berani menyatakan keinginannya untuk memiliki hatiku atau dia memang tidak punya rasa itu. Nyatanya ketika aku bangun dari tidurku, hal pertama yang kukerjakan adalah melantunkan sebait doa untuknya, meski hanya dalam hati dan tanpa suara, meminta Tuhan menjaganya sepanjang hari itu. Aku bersumpah untuk melupakannya, nyatanya aku tak berdaya mencegah rasa manis itu menyeruak ke hatiku setiap kali kusadari perhatiannya. Dia masih mengamati ekspresi wajahku meski sebagian besar rambutku sengaja kutata sedemikian rupa agar menutupi parasku. Tidak kubiarkan dia melihatku. Tidak kuijinkan dia membaca hatiku.
Aku menunduk hampir sepanjang waktu. Kami mungkin berada dalam ruangan yang sama, tapi kupagari diriku dari dirinya. Aku sembunyi, tapi sialnya dia dengan sabar seolah sengaja menunggu kesempatan untuk tersenyum ke arahku. Jadi, apa maksudmu, Alf? Apa arti seulas senyummu?
Beberapa hari berselang, dia masih tersenyum padaku. Aku tidak membalas senyumnya, berpura-pura tidak menyadari keberadaannya. Belakangan aku menyesal sendiri. Kusadari dia tidak lagi sedominan biasanya. Mungkin dia tengah direpotkan dengan banyak urusan, karena itu antusiasmenya sedikit surut.
Saat dia memasuki ruangan, ekor matanya masih mencariku, tapi dia tidak terlihat antusias seperti biasanya. Seolah ada hal yang mengganggu pikirannya. Kurasakan sejumput lara menjalari hatiku. Ingin kusirnakan bebannya, tapi aku hanya bisa memanjatkan sebait doa, berharap dia akan segera kembali seperti sediakala: senyum yang lepas, antusiasme yang tergurat jelas.
Aku merindukan dia; senyumnya, gurauannya, tawanya yang tanpa suara, antusiasmenya, dan sesekali sarkasme yang terselip di ujung kalimatnya; sarkasme yang halus dan memancing senyum. Aku merindukan Alf, berharap waktu berbaik hati padaku, memberi kesempatan padaku untuk melihatnya lagi, melihat senyumnya sekali lagi. Aku berjanji, jika bertemu dia lagi, kali ini aku akan membalas senyumnya. Tapi nyatanya saat akhirnya aku berjumpa dengannya lagi, kini malah giliran dia yang mencoba sembunyi.
Dia bersikap seolah tak menyadari keberadaanku, membuatku tiada. Jadi kuputuskan untuk tidak lagi memikirkan tentang dia. Kuputuskan bahwa dia tidak sesempurna yang kupikirkan. Jadi saat kami berada dalam ruangan yang sama, kuputuskan tidak akan kubiarkan dia mempengaruhi diriku lagi. Dia sama dengan laki-laki lainnya yang tidak menempati hatiku. Tak kuijinkan dia menempati sudut-sudut jiwaku lagi. Kurasa inilah yang terbaik. Toh suatu hari dia akan pergi juga, menghilang selamanya dari pandanganku, juga hidupku. Kusadari hidup berjalan terus dan waktu terus bergulir. Aku tidak mungkin menantinya selamanya.
Herannya baru sebentar kuputuskan begitu, hal kecil yang tak sengaja kutemukan, membuatku teringat dia lagi. Sejumput lara kembali menyelinap ke sudut hatiku. Betapa sukar menata perasaanku sendiri. Akal sehat ternyata tak cukup ampuh untuk mengusir dan mengenyahkan dia dari batinku. Bahkan litani dan doa pun tak cukup untuk meluruhkan dia dari benakku. Hingga kini, hari-hariku tak lebih dari terus mempertanyakan Alf berulang kali dan nyaris setiap saat. Betapa gundah, betapa nelangsa!
Setiap kali namanya disebutkan dalam percakapan teman-temanku, mau atau pun tidak, aku jadi berpikir tentang dia lagi. Setiap kali aku tanpa sengaja membaca judul berita dan artikel tentang selebritas yang memiliki nama depan atau belakang yang sama atau sekedar mirip dengan namanya, aku jadi teringat dia lagi. Alf bagaikan hantu. Sosoknya memang tak terlihat oleh mata, tapi sosoknya mengikutiku ke mana-mana.
Ketika dia mencoba sembunyi, aku malah sengaja mencari dirinya. Saat dia tidak ingin menatap ke arahku, kupaksa dia agar mau atau pun tidak, dia terpaksa menatap ke arahku. Bahkan saat dia mencoba melihat ke arah lain, dia akhirnya terpaksa menatap ke arahku juga. Mungkin dia merasa bahwa diam-diam aku mengamatinya, meski dia pura-pura tidak tahu, sehingga tanpa kentara dia menatap ke arahku lagi, meski dia melakukannya dengan halus, seolah dia tidak sengaja.
Mungkin Alf merasakan betapa ambigunya sikapku. Belakangan dia sengaja duduk di depanku, dekat, meski masih mengambil jarak. Dia sengaja menatap ke arah lain, seolah dia memang tidak ingin menatapku. Dia tidak mungkin mendengar debar jantungku yang berdetak lebih cepat saat kurasakan kehadirannya, tapi dia bisa membaca bahwa aku mungkin merasa tidak nyaman karena dia tanpa sengaja duduk terlalu dekat. Tidak ingin membuatku merasa tak nyaman, tanpa kentara beberapa kali dia menggeser kursinya. Betapa malunya saat dia memergokiku tengah mencuri pandang ke arahnya. Seperti orang bodoh saat dia balik menatapku, kualihkan pandanganku ke arah lain, lalu balik menatapnya lagi saat dia sedang tidak melihat ke arahku.
Kusadari mempertanyakan sikapnya adalah mempertanyakan sikapku sendiri kepadanya. Karena asa dan akal sehat seringkali berseberangan dan saling bertentangan. Belakangan kecanggungan yang samar namun terasakan itu sirna. Segalanya kembali normal dan bagai tak pernah terjadi. Kubiarkan keberadaanku dia temukan dengan mudahnya, jika dia cukup peka mendeteksi keberadaanku. Kubiarkan dia menemukanku kembali. Kujadikan hadirku lebih tergurat dalam hadirnya. Kubiarkan dia mengawasiku dan menyadari keberadaanku, sementara aku membiarkan dia berpikir aku tidak menyadarinya. Kutindas perasaan kecewa saat dia menunjukkan perhatiannya hanya selintasan saja dan tanpa nuansa.
Lalu Alf kembali dengan caranya, melindungiku sebisanya dari diriku sendiri, dari orang yang mengkritikku dengan menjadikan dirinya sebagai contoh untukku. Alf menunjukkan padaku bahwa dia memahami aku, tapi dia juga menganjuriku untuk berhenti menjadi diriku sendiri yang getas dan suka bersembunyi. Dia menghiburku dengan caranya yang tidak pernah lugas, dengan caranya yang selalu halus dan tersamar.
Namun aku lelah, Alf. Lelah dengan segala timbunan perasaan dan pemikiran tentang kita. Pusaran pertanyaan ini kini menenggelamkanku. Aku takut raib. Aku takut tersesat dan tidak bisa kembali ke realita, terperangkap di dalam ilusi.
Aku mencarinya tapi dia tidak kutemukan. Lalu di saat kupikir aku tak akan bisa melihatnya hari itu, dia muncul begitu saja. Menyadari hadirnya membuatku melempar pandang ke arah lain. Mengapa sosoknya begitu mempengaruhiku? Saat dia tidak menunjukkan kepeduliannya akan hadirku, aku kembali kecewa. Betapa dungu permainan yang kami mainkan. Aku sembunyi, dia sembunyi. Dia tidak mencariku di saat aku ingin ditemukan. Saat aku mencarinya, dia menghilang. Dia muncul saat keberadaannya tidak kuharapkan.
Permainan ini mulai terasa memuakkan, Alf! Aku terluka. Lara itu tak lagi sejumput. Dia menggunung, dia memfosil. Dia meresap, dia menyerap. Dia menikam, dia menghunjam. Dia memerangkap, dia mengerat. Dia menyiksa, dia memaksa. Dia mengacau, dia menghalau. Dia menguliti, dia menghabisi. Lara ini, Alf meruntuhkan kisaran peristiwa yang berceceran ingin membentuk makna, tak kuasa meyakinkanku bahwa kamu memang untukku.
Pada hari ketujuhbelas di bulan kesebelas pertanyaanku akhirnya terjawab. Kini kutahu dengan pasti Alf memang bukan untukku. Segala kebaikannya hanyalah bagian dari keramahannya, bagian dari persahabatannya yang salah kuartikan selama ini. Kini kutahu hatinya telah dia serahkan pada orang yang kupikir tak sepadan untuknya. Bukan karena dia tidak memberikan hatinya padaku; tapi entah mengapa, bahkan sebelum jawaban ini kutemukan, aku telah merasa, kelak nasibnya tak lebih dari menerima kutukan karena dia harus menjalani hari dan hidupnya bersama orang yang tak akan pernah memaknai hadirnya seperti aku memaknai keberadaannya, meski dia tidak akan pernah tahu. Kutukanku telah sirna. Aku tak lagi harus berada di dalam ladang fantasi. Aku tak lagi harus terbebani oleh perasaanku. Aku tak lagi harus mempertanyakan perhatiannya berulang-kali. Aku hanya menyesalkan waktu yang terbuang percuma karena aku tak jua menemukan jalan pulang saat labirin bernama ladang fantasi itu menawanku berlama-lama. Aku menyesalkan setiap perasaan membuncah yang menipu dan betapa lama aku harus menanti hingga aku mendapatkan penawar dari racun bernama ketidakpastian.
Alf pada akhirnya adalah sebuah jawaban yang membekukan. Alf adalah sebuah takdir yang tersingkapkan. Alf adalah nyanyian sukma yang lirih diperdengarkan. Nadanya sayu, liriknya menyayat kalbu.
Alf, ini adalah kali terakhir aku menyebut namamu. Gaungmu akan terlupakan. Sosokmu akan menghilang. Gemamu tak akan lagi terdengar. Aku berterimakasih pada waktu yang pada akhirnya berpihak padaku dan diberinya aku sebuah jawaban. Bagaimana pun, Alf, aku lebih menyukai realita meskipun tanpamu ketimbang kubiarkan diriku tersesat selamanya di ladang fantasiku. Aku tidak lagi teracuni. Aku telah meneguk penawarnya. Aku sembuh dan utuh. Aku tidak hancur! Aku tidak berkeping-keping! Aku jauh lebih kuat ketimbang fantasi, gumpalan asa, beribu keraguan, segala pertanyaan dan bentuknya yang tersimpul dalam satu kata: ALF!
Litani dan doa telah berhenti. Aku kini boleh menegakkan kepala. Melupakan Alf tak akan lagi jadi hal tersukar untuk dikerjakan. Melupakan dia dan segala hal tentangnya akan jadi hal yang dengan sendirinya pasti kulakukan. Melupakanmu, Alf kini adalah sebuah kewajiban, sebuah keharusan! Kau tidak lagi menjadi alasan untuk setiap ambigu yang pernah ada.
Luka ini belum sepenuhnya sirna. Racun ini telanjur meresap di segenap pembuluh darahku, melumpuhkan jiwa. Meneguk penawarnya memang menyembuhkanku, namun bekas lukanya masih belum menghilang seluruhnya. Namun keutuhan dari sebuah kesadaran, bagaimana pun jauh lebih melegakan ketimbang gumpalan asa yang menyesakkan. Keutuhannya getir dan masam, tak terasa manis laksana sulur-sulur fantasi yang merambati diriku. Belitannya tak mesra dan manja, melecutkan onak, duri, dan dera. Aku hidup dan merasa sakit. Kusadari pedihnya, kusadari nyerinya. Aku tak lagi sekarat. Aku hidup dan merasa kuat. Aku akan berjuang sekerasnya agar bekas luka ini menghilang, mengering, dan luruh. Membuatnya tiada, seakan tak pernah ada.
Pada akhirnya, Alf adalah sebuah bekas luka. Tak akan kubiarkan berkarat. Tak akan kubiarkan tergurat. Tak akan kubiarkan tersirat, meski tersurat. Alf adalah sebentuk kata yang kehilangan makna. Untaian aksara itu luruh adanya, tersapu waktu, tersapu hujan, tersapu banjir, tersapu angin, terbawa debu, lenyap di bawah terik mentari, mati, dan sunyi. Laksana hujan menitik, dia kembali ke tanah, dia kembali ke kolam, dia kembali ke sungai, dia kembali ke laut, dia kembali ke asal, dia kembali pada Alf, namun siklusnya di sanubariku telah terhenti, tak akan lagi terulang. Tak kubiarkan terulang. Repetisi yang mati.
Alf adalah sebentuk kenangan. Bagai mimpi yang segera terlupakan begitu aku terjaga. Kesibukan akan membuatnya tak lebih dari secuil memori, potongan kecil yang bisa dengan mudahnya lenyap, bagai sehelai kertas yang diterbangkan angin. Dia pernah ada tapi akan segera berlalu.
Aku mungkin masih akan menjumpainya. Aku mungkin masih akan bertemu dengannya. Aku mungkin masih akan dibelit nelangsa, menyaksikan relung jiwanya tidak dia peruntukkan untukku, tapi keberadaan dan sosoknya tak akan berlama-lama menghantuiku lagi. Bagai embun yang sirna karena terik mentari, dia akan menghilang dan tidak kuijinkan kembali. Kau tahu, Alf? Kuharap kutukan itu berbalik mengikutimu.
Aku bukanlah malaikat dan aku jelas bukan pemaaf. Kau mengacaukan asa-asaku dan meluruhkan akal sehatku. Kau biarkan aku tertipu. Semoga dia yang kau percayakan seluruh hatimu akan jadi hantu baru dalam hidupmu. Aku tidak akan mendoakan kebahagiaanmu. Aku berharap dia menyiksamu seperti kau menyiksaku. Semoga segala kebaikanmu sirna oleh waktu. Semoga cemeti kutukan itu membuatmu lupa bagaimana kau selalu tersenyum padaku dan memerangkapku dalam angan-angan semu, ilusi dan delusi bersatu, menyapu kewarasanku.
Alf adalah sebentuk dendam yang kekanakan. Bukan kejahatannya yang menyakitiku, tapi kebaikannya yang membunuhku. Bukan kesinisannya yang menyinggung hatiku, tapi kelembutannya yang menghinakanku. Bukan kepahitan sikapnya yang meracuniku, tapi kemanisan perilakunya yang membodohiku. Bukan ucapannya yang bak sembilu yang menikamku, tapi untaian kalimatnya yang laksana madu yang menenggelamkanku.
Alf kelak adalah bagian dari masa lalu. Dia hantu yang tak akan kembali dan tak akan bisa menyusulku hingga ke masa depan. Andai kelak kuingat dia lagi namanya disebutkan orang, dia adalah untaian aksara tanpa makna, menyembulkan senyuman, membuatku terheran sendiri, mengapa dulu dia pernah menjadi bagian dari mimpi-mimpiku. Kelak saat sejumput kedewasaan yang menyegarkan merasuki relung kesadaranku, akan kumaafkan Alf. Nanti ketika seberkas cahaya terang berpendar menyinari lubukku, dengan setulus dan seutuhnya akan kudoakan kebahagiaan Alf bersama dia yang kini menjadi hantu untuknya. Hingga saat itu tiba, Alf, biarlah kutukan itu terus mengikutimu di setiap langkahmu, di setiap detak jantungmu, di setiap irama nadimu, di setiap hembusan nafasmu, di setiap asa-asamu, tersirat maupun tergurat. Hingga saat itu… aku akan selalu mendoakan kemalanganmu.
Alf, adalah sebentuk kata yang akan segera terlupakan.