Sebelumnya, saya sudah berjanji pada diri sendiri untuk menulis sesuatu yang tidak melulu review film. Jadi kali ini saya ingin bercerita tentang pahlawan dalam hidup saya.
Pertama kali saya memiliki tokoh idola adalah pada usia dua belas tahun. Seiring bertambahnya usia, tokoh idola saya juga bertambah. Salah satu di antaranya adalah Chairil Anwar.
Saya pertama kali mengetahui tentang Chairil Anwar dari pelajaran Bahasa dan Sastera Indonesia sewaktu SMP dulu. Berhubung saya bukan pecinta pantun dan tidak pandai membuatnya, saya bersyukur sekali di dunia ini pernah hidup seorang Chairil Anwar. Kalau tidak, jangan-jangan wajah puisi di Indonesia masih bersajak a-b-a-b. Chairil memang pelopor angkatan '45 di bidang sastera, khususnya puisi. Chairil yang memperkenalkan puisi bebas yang tidak terikat rima dan jumlah baris dalam satu bait. Saat membaca biografi dari penyair yang hari kematiannya diperingati sebagai hari sastera ini, saya mengetahui bahwa dia memiliki hobi membaca. Karena kesukaannya akan buku, Chairil bahkan tidak segan untuk mencurinya dari perpustakaan atau toko buku jika dia tidak sanggup membeli buku tersebut. Chairil memang sering kesulitan dalam masalah finansial. Meski Chairil bukan klepto dan saya juga tidak menyetujui tindakannya, tapi kecintaannya akan buku, jelas patut ditiru. Chairil adalah sosok penyair yang saya cintai puisi-puisinya (termasuk puisi-puisi sadurannya yang membuat Chairil menyandang cap plagiat yang dieufemismekan sebagai penerjemah dalam film GIE), tekadnya dan pilihan hidupnya yang (ceroboh?). Gaya hidupnya yang bohemian mungkin menjadi salah satu penyebab mengapa Chairil meninggal dalam usia muda.
Namun saya mengagumi tekadnya untuk merantau dalam usia muda dengan meninggalkan keluarga intinya. Chairil juga menguasai beberapa bahasa asing, di antaranya bahasa Belanda. Puisi-puisinya konon juga disukai meski pada masa pendudukan Jepang di Indonesia yang memberlakukan sensor yang cukup ketat.
* Gambar dipinjam dari Wikipedia.